Home Ads

3.6.17

Merefleksikan Tindakan untuk Menemukan Solusi Permasalahan




Kehidupan manusia dipenuhi warna, tidak hanya hitam dan putih. Bagaikan potret, banyak tragedi dan peristiwa yang menghiasinya. Potret kehidupan manusia tersebutlah yang menjadi tema besar buku ini.
Manusia berlomba-lomba untuk bertahan dan berinovasi. Manusia berusaha menunjukkan kekuatan dan kehebatan. Namun sehebat apapun manusia, menurut penulis sesungguhnya ada tiga kepedihan yang mau tidak mau harus ditanggung. Pertama, Kita terikat pada waktu, kenangan, dan impian. Kedua, kita terikat pada tempat dan hukum-hukum yang berlaku di dunia karena kita tinggal di dalamnya. Ketiga, kita bersifat fana karena tidak kekal dan bersifat mortal karena bisa mati (halaman 17).
Agar manusia bisa mengurangi kepedihan yang pertama, maka waktu harus disikapi dengan bijak. Ada 3 kuncinya yaitu reclaim yesterday, enjoy today and master tomorrow. Seyogyanya kita bisa memaknai ulang masa lalu, sungguh menikmati masa kini dan mempersiapkan untuk yang terbaik pada masa depan (halaman 20).
Kepedihan yang kedua, walau bagaimanapun manusia tetap
terikat pada tempat dan hukum yang berlaku. Manusia tidak bebas menjalankan hidup sesuai keinginannya. Ada aturan yang mengikat. Ingin berhasil, ya harus kerja keras. Keberhasilan hanyalah impian jika ingin diraih dengan bermalas-malasan. Itulah prinsip hidup yang mau tidak mau harus dijalani.
Kenyerian yang ketiga, manusia bersifat fana dan mortal. Secanggih apapun teknologi yang diciptakan manusia pada akhirnya akan mati dan pulang pada pencipta-Nya. Manusia tetaplah makhluk fana yang merupakan bagian dari penciptaan. Manusia tidak akan bisa menjadi Tuhan, sehebat apapun dia.
Topik mengenai kepedihan yang harus dihadapi oleh manusia di atas merupakan pembuka buku pada bagian 1 Kisah tentang Manusia dan Penderitaannya. Bagian ini terdiri dari sepuluh bab yang semuanya diawali dengan kisah menyedihkan. Pada bagian 1 ini juga penullis mengajak pembaca untuk merenungkan hakikat kehidupan manusia. Hidup memang harus dijalani demikian adanya untuk dapat dimurnikan.
Penulis tidak memberikan kesimpulan pemurnian seperti apa yang dimaksud. Dengan cara yang elegan, penulis mengajak pembaca menyimpulkannya sendiri dari kisah perjalanan manusia memurnikan diri pada bagian 2.
Salah satunya adalah kisah tentang pergumulan seorang pemudi dalam mempertanyakan itikad Tuhan. Pemudi itu dikatakan Atheis oleh orangtuanya dan dibawa ke psikolog untuk diperiksakan kesehatan jiwanya. Pemudi tersebut pun bertemu dengan penulis. Dia mengaku tidak terima dikatakan Atheis karena sebenarnya dia percaya dengan Tuhan. Yang dia pertanyakan adalah itikad Tuhan menciptakan manusia. Mengapa banyak kehancuran di muka bumi ini jika Tuhan Maha Penyayang?
Pertanyaan tersebut pun mungkin juga sering hinggap di benak kita. Pada suatu titik kita merasa bahwa tidak mungkin ada hal baik terjadi di dunia yang sudah hancur ini. Semua yang terjadi membuat kita kelelahan. Kita kemudian mencoba untuk tidak peduli, dengan cara lebih baik tidak tahu, suatu cara melarikan diri yang paling mudah. Tapi cara itu tidak berhasil, karena masalah datang berulang kali. Rasanya mau kabur saja, nyaris tidak kuat (halaman 197).
Dari kejadian tersebut, penulis lantas berpikir. Tentu dunia tidak akan indah seperti ini jika hanya terdiri dari satu warna saja. Justru keindahan itu muncul karena terdiri dari banyak warna. Tidak mungkin pula, sebuah komposisi musik merdu nan memukau tercipta jika hanya ada satu not saja. Dunia tidak akan sempurna, jika ada hewan pemakan rumput saja. Hewan pemangsa juga memberikan pembelajaran tentang kehidupan. Yang perlu dilakukan hanyalah menerima kenyataan tersebut.
Tema lain yang menggelitik adalah tentang perempuan. Di beberapa budaya atau suku, anak laki-laki diharapkan sebagai penerus marga. Jika sebuah pasangan tidak juga dikaruniai putera maka yang disalahkan adalah perempuan. Tidak jarang, suami tersebut menikah lagi dengan alasan ingin memiliki putera. Padahal, yang membawa kromosom XY adalah laki-laki. Jadi, untuk menentukan anak yang akan lahir adalah si suami, bukan istri.
Penulis yang seorang psikolog klinis sepertinya sangat mengetahui mental pembacanya. Pesan yang disampaikan dalam buku ini dikemas dengan cara yang jauh dari kata menggurui. Setiap bab juga didahului oleh cerita pendek nyata yang kemudian dijadikan bahan perenungan sehingga terasa lebih ringan untuk dibaca. Buku ini merefleksikan tindakan dan solusi atas permasalahan yang kita hadapi dalam kehidupan sehari-hari.

Identitas Buku

Judul : Heaven on Earth (Potret Kehidupan Manusia)
Penulis : Mona Sugianto
Halaman : 224 halaman
Cetakan : September 2016
Penerbit: Kanisius
ISBN : 978-979-21-4416-1

Tulisan ini dimuat Koran Jakarta Edisi 22 Februari 2017.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentar yang teman tinggalkan sangat berharga bagi saya. Terima kasih telah berkunjung dan berkenan meninggalkan jejak ^ ^

FlatBook

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipiscing elit. Vestibulum rhoncus vehicula tortor, vel cursus elit. Donec nec nisl felis. Pellentesque ultrices sem sit amet eros interdum, id elementum nisi ermentum.Vestibulum rhoncus vehicula tortor, vel cursus elit. Donec nec nisl felis. Pellentesque ultrices sem sit amet eros interdum, id elementum nisi fermentum.




Comments

Contact Us

Nama

Email *

Pesan *