Kehidupan manusia
dipenuhi warna, tidak hanya hitam dan putih. Bagaikan potret, banyak tragedi
dan peristiwa yang menghiasinya. Potret kehidupan manusia tersebutlah yang
menjadi tema besar buku ini.
Manusia
berlomba-lomba untuk bertahan dan berinovasi. Manusia berusaha menunjukkan kekuatan
dan kehebatan. Namun sehebat apapun manusia, menurut penulis sesungguhnya ada
tiga kepedihan yang mau tidak mau harus ditanggung. Pertama, Kita terikat pada
waktu, kenangan, dan impian. Kedua, kita terikat pada tempat dan hukum-hukum
yang berlaku di dunia karena kita tinggal di dalamnya. Ketiga, kita bersifat
fana karena tidak kekal dan bersifat mortal karena bisa mati (halaman 17).
Agar manusia bisa
mengurangi kepedihan yang pertama, maka waktu harus disikapi dengan bijak. Ada
3 kuncinya yaitu reclaim yesterday, enjoy today and master tomorrow.
Seyogyanya kita bisa memaknai ulang masa lalu, sungguh menikmati masa kini dan
mempersiapkan untuk yang terbaik pada masa depan (halaman 20).
Kepedihan yang
kedua, walau bagaimanapun manusia tetap
terikat pada tempat dan hukum yang
berlaku. Manusia tidak bebas menjalankan hidup sesuai keinginannya. Ada aturan
yang mengikat. Ingin berhasil, ya harus kerja keras. Keberhasilan hanyalah
impian jika ingin diraih dengan bermalas-malasan. Itulah prinsip hidup yang mau
tidak mau harus dijalani.
Kenyerian yang
ketiga, manusia bersifat fana dan mortal. Secanggih apapun teknologi yang
diciptakan manusia pada akhirnya akan mati dan pulang pada pencipta-Nya.
Manusia tetaplah makhluk fana yang merupakan bagian dari penciptaan. Manusia
tidak akan bisa menjadi Tuhan, sehebat apapun dia.
Topik mengenai
kepedihan yang harus dihadapi oleh manusia di atas merupakan pembuka buku pada bagian
1 Kisah tentang Manusia dan Penderitaannya. Bagian ini terdiri dari sepuluh bab
yang semuanya diawali dengan kisah menyedihkan. Pada bagian 1 ini juga penullis
mengajak pembaca untuk merenungkan hakikat kehidupan manusia. Hidup memang
harus dijalani demikian adanya untuk dapat dimurnikan.
Penulis tidak
memberikan kesimpulan pemurnian seperti apa yang dimaksud. Dengan cara yang
elegan, penulis mengajak pembaca menyimpulkannya sendiri dari kisah perjalanan
manusia memurnikan diri pada bagian 2.
Salah satunya
adalah kisah tentang pergumulan seorang pemudi dalam mempertanyakan itikad
Tuhan. Pemudi itu dikatakan Atheis oleh orangtuanya dan dibawa ke psikolog
untuk diperiksakan kesehatan jiwanya. Pemudi tersebut pun bertemu dengan
penulis. Dia mengaku tidak terima dikatakan Atheis karena sebenarnya dia
percaya dengan Tuhan. Yang dia pertanyakan adalah itikad Tuhan menciptakan
manusia. Mengapa banyak kehancuran di muka bumi ini jika Tuhan Maha Penyayang?
Pertanyaan
tersebut pun mungkin juga sering hinggap di benak kita. Pada suatu titik kita
merasa bahwa tidak mungkin ada hal baik terjadi di dunia yang sudah hancur ini.
Semua yang terjadi membuat kita kelelahan. Kita kemudian mencoba untuk tidak
peduli, dengan cara lebih baik tidak tahu, suatu cara melarikan diri yang
paling mudah. Tapi cara itu tidak berhasil, karena masalah datang berulang
kali. Rasanya mau kabur saja, nyaris tidak kuat (halaman 197).
Dari kejadian tersebut,
penulis lantas berpikir. Tentu dunia tidak akan indah seperti ini jika hanya
terdiri dari satu warna saja. Justru keindahan itu muncul karena terdiri dari
banyak warna. Tidak mungkin pula, sebuah komposisi musik merdu nan memukau
tercipta jika hanya ada satu not saja. Dunia tidak akan sempurna, jika ada
hewan pemakan rumput saja. Hewan pemangsa juga memberikan pembelajaran tentang
kehidupan. Yang perlu dilakukan hanyalah menerima kenyataan tersebut.
Tema lain yang
menggelitik adalah tentang perempuan. Di beberapa budaya atau suku, anak
laki-laki diharapkan sebagai penerus marga. Jika sebuah pasangan tidak juga
dikaruniai putera maka yang disalahkan adalah perempuan. Tidak jarang, suami
tersebut menikah lagi dengan alasan ingin memiliki putera. Padahal, yang
membawa kromosom XY adalah laki-laki. Jadi, untuk menentukan anak yang akan
lahir adalah si suami, bukan istri.
Penulis yang
seorang psikolog klinis sepertinya sangat mengetahui mental pembacanya. Pesan
yang disampaikan dalam buku ini dikemas dengan cara yang jauh dari kata
menggurui. Setiap bab juga didahului oleh cerita pendek nyata yang kemudian
dijadikan bahan perenungan sehingga terasa lebih ringan untuk dibaca. Buku ini
merefleksikan tindakan dan solusi atas permasalahan yang kita hadapi dalam
kehidupan sehari-hari.
Identitas Buku
Judul : Heaven
on Earth (Potret Kehidupan Manusia)
Penulis : Mona
Sugianto
Halaman : 224
halaman
Cetakan :
September 2016
Penerbit: Kanisius
ISBN :
978-979-21-4416-1
Tulisan ini dimuat Koran Jakarta Edisi 22 Februari 2017.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentar yang teman tinggalkan sangat berharga bagi saya. Terima kasih telah berkunjung dan berkenan meninggalkan jejak ^ ^